Sabtu, 07 Juli 2012

Ngelmu sejati yo sejatine ngelmu

Ngelmu Sejati, Sejati ne Ilmu

Ilmu sejati menerangkan bahwa manusia benar-benar abadi tidak bisa
mati, kebal segala macam bahaya apapun dan bahagia tidak pernah
duka, kaya tidak pernah miskin. Ilmu sejati adalah ilmu mengenali diri
sejati. Inilah kunci ilmu kesaktian yang sesungguhnya.
Falsafah hidup yang ideal tidak hanya menjadi pedoman hidup di dunia fisik ini
saja, melainkan harus masuk ke kehidupan yang sejati yang metafisik. Bila
diminta memilih dunia: fisik atau metafisik, maka jatuhkan pilihan pada yang
terakhir saja. Sebab dunia fisik akan lenyap seiring dengan dimasukkannya
jasad ke dalam kubur, sementara dunia metafisik kita akan langgeng abadi
sepanjang masa.
Tujuan hidup manusia adalah mengisi hidup dengan diri yang sejati. Dunia
adalah persinggahan sementara diri sejati sebelum menempuh perjalanan-
perjalanan lain yang sangat panjang. Sayangnya, di persinggahannya yang
sementara ini kebanyakan justeru diisi oleh diri-diri palsu. Maka hidup di dunia
yang menekankan pada diri-diri palsu, harus bersiaplah untuk terseok dan
tersungkur kapan saja.
Pada diri yang palsu, keakuan atau ego SANGAT DOMINAN dalam mengambil
keputusan-keputusan. Saat kita dihadapkan pada pilihan, memilih isteri yang
cantik atau memilih isteri yang moralnya baik, maka kita langsung
menjatuhkan pilihan pada isteri cantik. Saat kita dihadapkan pada pilihan
mengambil uang negara (korupsi) sehingga cepat kaya atau hidup miskin
namun tenang, kita langsung menjatuhkan pilihan pada jadi koruptor. Kita
saat itu sadar, resiko jadi koruptor adalah masuk penjara. Namun kesadaran
kita hanya mucul dari lapisan jiwa terluar saja. Belum muncul dari lapisan jiwa
yang terdalam dimana DIRI SEJATI berada.
Keputusan yang muncul akibat tidak mendengarkan suara diri sejati yang
tergencet oleh akal sehat dan nafsu ego, adalah penyesalan. Kenapa
menyesal? Sebab akibatnya fatal. Seluruh wujud kita akan mengalami akibat
yang mengerikan. Akibat fatal ini bagi setiap orang berbeda-beda tergantung
pada peristiwa apa diri palsu itu mendominasi kita.
Pada suatu ketika, kita dihadapkan pada pilihan menyalip atau tidak ketika ada
truk gandeng melaju perlahan sehingga menghalangi laju kendaraan kita.
Pikiran sadar mengatakan JANGAN, karena berbahaya menyalip. Apalagi jalur
kendaraan hanya ada dua. Namun, nafsu ego mengatakan TERUSKAN
menyalip agar cepat sampai tujuan. Pilihan akhirnya dijatuhkan dengan cepat
oleh gerakan refleks bawah sadar…. brakkkkk…. kendaraan kita dihantam
kendaraan lain dari jalur berlawanan.
Menuruti diri palsu ego kadang memuaskan (untuk sementara waktu), namun
kepuasan itu sifatnya hanya sementara. Akan lahir berkembang keinginan
demi keinginan lain yang harus dipuaskan. Itulah watak diri palsu: senang
sesaat, tidak pernah puas… Memuaskan keinginan nafsu ego, maka
perkembangan spiritual dan mental berada pada posisi stagnan, mandeg.
Bahkan mengalami kemunduran.
Hal ini berbeda ketika kita banyak menuruti DIRI SEJATI. Diri yang sejati akan
membuat perkembangan spiritual kita bergerak aktif dan dinamis. Bila ulat
mampu bermetamorfisis menjadi kupu yang indah, maka diri sejati akan
bermetamorfosis menjadi diri yang MOKSA. Diri yang manunggal dengan
iradat-Nya. Duh, alangkah indahnya manusia yang sampai pada tahap ini?….
Kita perlu sadar bahwa di dalam terkadang pilihan alternatif yang tersedia
tidak banyak. Mungkin ada dua, tiga, lima. Mungkin pula kadang hanya ada
satu bahkan tidak ada alternatif sama sekali. Perlu dipahami, bahwa
sesungguhnya ada tidaknya alternatif itu tergantung pada sumber mana yang
kita akses: diri palsu ego atau diri sejati? Pada diri palsu ego, alternatifnya
hanya sekedar apa yang teralami dengan indera saja. Kenikmatan, kesuksesan,
kejayaan jasad/fisik adalah hukum alam dari hasil akhir proses menuruti diri
palsu.
Belajar dari sejarah kepemimpinan, tidak ada satupun pemimpin sebuah
komunitas bangsa yang lahir dari diri palsu akan mampu bertahan abadi
melintasi jaman. Kejayaan dan kelanggengan nilai-nilai yang ditebar pemimpin
bobrok akan membawa kehancuran dan degradasi nilai-nilai kemanusiaan.
Baca riwayat Hitler, bagaimana sang diktator ini harus mengakhiri hidupnya
dengan cara bunuh diri secara tragis. Dan contoh-contoh lain yang lebih
mengerikan lagi.
Pada suatu ketika, manusia akan mengalami penyesalan. Kenapa menyesal?
Penyesalan adalah pemberontakan dari diri sejati yang sudah begitu lama
dikubur dan dimatikan. Namun, ia tidak benar-benar bisa tewas. Diri sejati
akan tetap hidup. Ia menyuarakan kehendak untuk kembali ke jalan yang
benar. Tidak sesat dan sasar. Sayangnya, di dalam hidup kita lebih suka
mendustai bahkan menolak hadirnya suara dari dalam diri sejati.
DIRI SEJATI bisa dirasakan pada TITIK PALING HENING MEDITASI, SEMEDHI,
MALADIHENING. Pada DIRI SEJATI munculnya KESAKTIAN merupakan hal
yang sangat biasa. SEGALA DIMENSI GAIB DAN METAFISIK TERBUKA TERANG
BENDERANG.
Namun, pada hakikatnya diri sejati tidak boleh hanya dirasakan da disadari
belaka. Sebalinya, jadikan seluruh kemanusiaan kita ini dengan totalitas DIRI
SEJATI YANG MENYINARI BERPERILAKU SEPANJANG HIDUP MANUSIA. Yaitu
bila perjalanan (tarekat) mengolah rasa sudah sampai ke pendakian tertinggi
perjalanan spiritual. Mencapai makrifat yang merupakan wujud diri sejati
inilah yang harusnya menjadi tujuan hidup kita.
Salah satu ajaran mistik Jawa yang membabar soal menjadi diri sejati
terkandung dalam serat Dewaruci. Serat Dewaruci merupakan karya sastra
suluk yang secara keseluruhan bernilai mistis. Nilai-nilai yang termuat dalam
alur cerita Sang Bima mencari diri sejati disimbolkan dengan pencarian “Air
Perwitasari.” oleh Bima. Yaitu air yang membuat abadi bagi peminumnya.
Serat ini menceriterakan upaya bagaimana manusia dalam kehidupannya
dapat mencapai diri sejati. Yitu diri yang mampu menciptakan keasrian,
ketentraman dan kelestarian dunia. Salah satu moralitas ajarannya yaitu
memayu hayuning bawana dan memayu hayuningrat. Suradira jayaningrat
lebur dening pangastuti: sifat pengasih akan meleburkan segala kejahatan.
Serat Dewa Ruci membeberkan konsep ngelmu “MANUNGGALING KAWULA
GUSTI, PAMORING KAWULA GUSTI, JUMBUHING KAWULA GUSTI,
WARANGKA MANJING CURIGA CURIGA MANJING WARANGKA.” Yaitu diri
sejato yang tidak lagi mengalami suka duka. Ia akan berseri bagaikan bulan
purnama menyinari bumi, membuat dunia menjadi indah. Di dunia ia menjadi
wakil Tuhan (wakiling Gusti), menjalankan kewajiban-kewajiban-Nya dan
memberi inspirasi kepada manusia yang lain.
Ia mampu mendengar, merasa, dan melihat apa yang tidak dapat dikerjakan
oleh manusia yang masih diselubungi oleh kebendaan, syahwat, dan segala
kesibukan dunia yang fana. Tindakan diri manusia semata-mata menjadi laku
karena Tuhan
Bima telah mencapai tahap makrifat, di antaranya ia merasakan: keadaan
dirinya dengan Tuhannya bagaikan air dengan ombak, nikmat dan
bermanfaat, segala yang dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati tidak ada
bedanya, serta berseri bagaikan sinar bulan purnama menyinari bumi.
Wujud diri sejati meliputi segala yang ada di dunia, yang hidup tidak ada yang
menghidupi, yang tidak terikat oleh waktu, yaitu Yang Ada telah berada pada
Bima, telah menunggal menjadi satu. Jika telah manunggal penglihatan dan
pendengaran Bima menjadi penglihatan dan pendengaran-Nya. Badan lahir
dan badan batin Suksma telah ada pada Bima, hamba dengan Tuhan
bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air dengan ombak, bagaikan minyak di
atas air susu.
Setelah manunggal dengan Gusti, dia tidak merasakan rasa khawatir, tidak
berniat makan dan tidur, tidak merasakan lapar dan mengantuk, tidak
merasakan kesulitan, hanya nikmat yang memberi berkah karena segala yang
dimaksud dapat tercapai. Hal ini menyebabkan Bima ingin manunggal terus.
Ia telah memperoleh kebahagiaan nikmat rahmat yang terkandung pada
kejadian dunia dan akhirat. Sinar Ilahi yang melahirkan kenikmatan jasmani
dan kebahagian rohani telah ada pada Bima. Itulah surga.
Pada tahap ini, apa yang diniatkan diri sejati akan terwujud. KUN FAYAKUN.
Bahkan, hukum alam taklum dalam hukum Ilahi. Keajaiban itu terjadi sewaktu
hamba dalam kendali Ilahi.
Hidup dan mati tidak ada bedanya karena dalam hidup di dunia hendaklah
manusia dapat mengendalikan atau mematikan nafsu yang tidak baik dalam
dalam kematian manusia akan kembali menjadi satu dengan Tuhannya. Mati
merupakan perpindahan rohani dari sangkar kecil menuju kepada kebebasan
yang luas, kembali kepada-Nya. Dalam kematian raga nafsu yang tidak
sempurna dan yang menutupi kesempurnaan akan rusak. Yang tinggal
hanyalah Suksma. Ia kemudian bebas merdeka sesuai kehendaknya kembali
manunggal kepada Yang Kekal.
Setelah mengetahui, menghayati, dan mengalami manunggal sempurna
antara diri sejati dengan SANG DIRI SEJATI karena mendapatkan wejangan
Dewaruci, hatinya terang seperti kuncup bunga yang mekar. Dewaruci
kemudian muksa. Bima kembali kepada alam dunia semula.. Sebab,
bagaimana pun kita masih manusia yang punya jasad/ tubuh. Nafsu jasad/
kebutuhan biologis tidak dihilangkan namun dimenej dengan sebaik-baiknya
untuk dituntun dengan diri sejati.



0 komentar:

Posting Komentar