Rabu, 19 Maret 2014

Makna Tiga Langkah

Triwikrama adalah tiga langkah “Dewa Wisnu”
atau Atma Sejati (energi kehidupan) dalam
melakukan proses penitisan. Awal mula
kehidupan dimulai sejak roh manusia diciptakan
Tuhan namun masih berada di alam sunyaruri
yang jenjem jinem, dinamakan sebagai zaman
kertayuga, zaman serba adem tenteram dan
selamat di dalam alam keabadian.
Di sana roh belum terpolusi nafsu jasad dan
duniawi, atau dengan kata lain digoda oleh
“setan” (nafsu negatif). Dari alam keabadian
selanjutnya roh manitis yang pertama kali yakni
masuk ke dalam “air” sang bapa, dinamakanlah
zaman tirtayuga. Air kehidupan (tirtamaya) yang
bersemayam di dalam rahsa sejati sang bapa
kemudian menitis ke dalam rahim sang rena
(ibu). Penitisan atau langkah kedua Dewa Wisnu
ini berproses di dalam zaman dwaparayuga.
Sebagai zaman keanehan, karena asal mula
wujud sukma adalah berbadan cahya lalu
mengejawantah mewujud menjadi jasad manusia.
Sang Bapa mengukir jiwa dan sang rena yang
mengukir raga. Selama 9 bulan calon manusia
berproses di dalam rahim sang rena dari wujud
badan cahya menjadi badan raga. Itulah zaman
keanehan atau dwaparayuga. Setelah 9 bulan
lamanya sang Dewa Wisnu berada di dalam
zaman dwaparayuga. Kemudian langkah
Dewa Wisnu menitis yang terakhir kalinya, yakni
lahir ke bumi menjadi manusia yang utuh dengan
segenap jiwa dan raganya. Panitisan terakhir
Dewa Wisnu ke dalam zaman mercapadha. Merca
artinya panas atau rusak, padha berarti papan
atau tempat. Mercapadha adalah tempat yang
panas dan mengalami kerusakan. Disebut juga
sebagai Madyapada, madya itu tengah padha
berarti tempat.
Tempat yang berada di tengah-tengah, terhimpit
di antara tempat-tempat gaib. Gaib sebelum
kelahiran dan gaib setelah ajal. KIDUNG
PANGURIPAN “SAKA GURU” Nah, di zaman
Madya atau mercapadha ini manusia memiliki
kecenderungan sifat-sifat yang negatif. Sebagai
pembawaan unsur “setan”, setan tidak dipahami
sebagai makhluk gaib gentayangan penggoda
iman, melainkan sebagai kata kiasan dari nafsu
negatif yang ada di dalam segumpal darah
(kalbu).
Mercapadha merupakan perjalanan hidup PALING
SINGKAT namun PALING BERAT dan SANGAT
MENENTUKAN kemuliaan manusia dalam
KEHIDUPAN SEBENARNYA yang sejati abadi
azali. Para perintis bangsa di zaman dulu telah
menggambarkan bagaimana keadaan manusia
dalam berproses mengarungi kehidupan di dunia
selangkah demi selangkah yang dirangkum
dalam tembang macapat (membaca sipat).
Masing-masing tembang menggambarkan proses
perkembangan manusia dari sejak lahir hingga
mati. Ringkasnya, lirik nada yang digubah ke
dalam berbagai bentuk tembang menceritakan
sifat lahir, sifat hidup, dan sifat mati manusia
sebagai sebuah perjalanan yang musti dilalui
setiap insan.
Penekanan ada pada sifat-sifat buruk manusia,
agar supaya tembang tidak sekedar menjadi
iming-iming, namun dapat menjadipepeling dan
saka guru untuk perjalanan hidup manusia.
Berikut ini alurnya :
1. MIJIL Mijil artinya lahir. Hasil dari olah jiwa
dan raga laki-laki dan perempuan menghasilkan
si jabang bayi. Setelah 9 bulan lamanya berada
di rahim sang ibu, sudah menjadi kehendak
Hyang Widhi si jabang bayi lahir ke bumi.
Disambut tangisan membahana waktu pertama
merasakan betapa tidak nyamannya berada di
alam mercapadha.
Sang bayi terlanjur enak hidup di zaman
dwaparayuga, namun harus netepi titah Gusti
untuk lahir ke bumi. Sang bayi mengenal bahasa
universal pertama kali dengan tangisan
memilukan hati. Tangisan yang polos, tulus, dan
alamiah bagaikan kekuatan getaran mantra tanpa
tinulis.Kini orang tua bergembira hati, setelah
sembilan bulan lamanya menjaga sikap dan laku
prihatin agar sang rena (ibu) dan si ponang(bayi)
lahir dengan selamat. Puja puji selalu dipanjat
agar mendapat rahmat Tuhan Yang Maha
Pemberi Rahmat atas lahirnya si jabang bayi
idaman hati.
2. MASKUMAMBANG Setelah lahir si jabang
bayi, membuat hati orang tua bahagia tak
terperi. Tiap hari suka ngudang melihat tingkah
polah sang bayi yang lucu dan menggemaskan.
Senyum si jabang bayi membuat riang
bergembira yang memandang. Setiap saat sang
bapa melantunkan tembang pertanda hati senang
dan jiwanya terang. Takjub memandang
kehidupan baru yang sangat menantang. Namun
selalu waspada jangan sampai si ponang
menangis dan demam hingga kejang.
Orang tua takut kehilangan si ponang, dijaganya
malam dan siang agar jangan sampai meregang.
Buah hati bagaikan emassegantang. Menjadi
tumpuan dan harapan kedua orang tuannya
mengukir masa depan. Kelak jika sudah dewasa
jadilah anak berbakti kepada orang tua, nusa
dan bangsa.
3. KINANTI Semula berujud jabang bayi merah
merekah, lalu berkembang menjadi anak yang
selalu dikanthi-kanthi kinantenan orang tuannya
sebagai anugrah dan berkah. Buah hati menjadi
tumpuan dan harapan. Agar segala asa dan
harapan tercipta, orang tua selalu membimbing
dan mendampingi buah hati tercintanya. Buah
hati bagaikan jembatan, yang dapat menyambung
dan mempererat cinta kasih suami istri. Buah
hati menjadi anugrah ilahi yang harus dijaga
siang ratri.Dikanthi-kanthi (diarahkan dan
dibimbing) agar menjadi manusia sejati. Yang
selalu menjaga bumi pertiwi.
4. SINOM Sinom isih enom. Jabang bayi
berkembang menjadi remaja sang pujaan dan
dambaan orang tua dan keluarga. Manusia yang
masih muda usia. Orang tua menjadi gelisah,
siang malam selalu berdoa dan menjaga agar
pergaulannya tidak salah arah. Walupun badan
sudah besar namun remaja belajar hidup masih
susah. Pengalamannya belum banyak, batinnya
belum matang, masih sering salah menentukan
arah dan langkah. Maka segala tindak tanduk
menjadi pertanyaan sang bapa dan ibu. Dasar
manusia masih enom (muda) hidupnya sering
salah kaprah.
5. DHANDANGGULA Remaja beranjak menjadi
dewasa. Segala lamunan berubah ingin
berkelana. Mencoba hal-hal yang belum pernah
dirasa. Biarpun dilarang agama, budaya dan
orang tua, anak dewasa tetap ingin mencobanya.
Angan dan asa gemar melamun dalam keindahan
dunia fana. Tak sadar jiwa dan raga menjadi
tersiksa. Bagi anak baru dewasa, yang manis
adalah gemerlap dunia dan menuruti nafsu
angkara, jika perlu malah berani melawan orang
tua. Anak baru dewasa, remaja bukan dewasa
juga belum, masih sering terperdaya bujukan
nafsu angkara dan nikmat dunia.
Sering pula ditakut-takuti api neraka, namun tak
akan membuat sikapnya menjadi jera. Tak mau
mengikuti kareping rahsa, yang ada selalu nguja
hawa. Anak dewasa merasa rugi bila tak
mengecap manisnya dunia. Tak peduli orang tua
terlunta, yang penting hati senang gembira. Tak
sadar tindak tanduknya bikin celaka, bagi diri
sendiri, orang tua dan keluarga.
Cita-citanya setinggi langit, sebentar-sebentar
minta duit, tak mau hidup irit. Jika tersinggung
langsung sengit. Enggan berusaha yang penting
apa-apa harus tersedia. Jiwanya masih muda,
mudah sekali tergoda api asmara. Lihat celana
saja menjadi bergemuruh rasa di dada. Anak
dewasa sering bikin orang tua ngelus dada.
Bagaimanapun juga mereka buah dada hati yang
dicinta. Itulah sebabnya orang tua tak punya
rasa benci kepada pujaan hati. Hati-hati bimbing
anak muda yang belum mampu membuka panca
indera, salah-salah justru bisa celaka semuanya.
6. ASMARADANA Asmaradana atau asmara
dahana yakni api asmara yang membakar jiwa
dan raga. Kehidupannya digerakkan oleh motifasi
harapan dan asa asmara. Seolah dunia ini
miliknya saja. Membayangkan dirinya bagaikan
sang pujangga atau pangeran muda. Apa yang
dicitakan haruslah terlaksana, tak pandang bulu
apa akibatnya. Hidup menjadi terasa semakin
hidup lantaran gema asmara membahana dari
dalam dada.
Biarlah asmara membakar semangat hidupnya,
yang penting jangan sampai terlena. Jika tidak,
akan menderita dikejar-kejar tanggungjawab
hamil muda. Sebaliknya akan hidup mulia dan
tergapai cita-citanya. Maka sudah menjadi tugas
orang tua membimbing mengarahkan agar tidak
salah memilih idola. Sebab sebentar lagi akan
memasuki gerbang kehidupan baru yang mungkin
akan banyak mengharu biru.
Seyogyanya suka meniru tindak tanduk
sanggurulaku, yang sabar membimbing setiap
waktu dan tak pernah menggerutu. Jangan suka
berpangku namun pandailah memanfaatkan
waktu. Agar cita-cita dapat dituju. Asmaradana
adalah saat-saat yang menjadi penentu, apakah
dirimu akan menjadi orang bermutu, atau polisi
akan memburu dirimu. Salah-salah gagal
menjadi menantu, malah akan menjadi seteru.
7. GAMBUH Gambuh atau Gampang Nambuh,
sikap angkuh serta acuh tak acuh, seolah sudah
menjadi orang yang teguh, ampuh dan
keluarganya tak akan runtuh. Belum pandai
sudah berlagak pintar. Padahal otaknya buyar
matanya nanar merasa cita-citanya sudah
bersinar. Menjadikannya tak pandai melihat
mana yang salah dan benar. Di mana-mana
ingin diakui bak pejuang, walau hatinya tak
lapang. Pahlawan bukanlah orang yang berani
mati, sebaliknya berani hidup menjadi manusia
sejati.
Sulitnya mencari jati diri kemana-mana terus
berlari tanpa henti. Memperoleh sedikit sudah
dirasakan banyak, membuat sikapnya mentang-
mentang bagaikan sang pemenang. Sulit mawas
diri, mengukur diri terlalu tinggi. Ilmu yang
didapatkannya seolah menjadi senjata ampuh
tiada tertandingi lagi. Padahal pemahamannya
sebatas kata orang. Alias belum bisa menjalani
dan menghayati. Bila merasa ada yang kurang,
menjadikannya sakit hati dan rendah diri.
Jika tak tahan ia akan berlari menjauh
mengasingkan diri. Menjadi pemuda pemudi yang
jauh dari anugrah ilahi. Maka, belajarlah dengan
teliti dan hati-hati. Jangan menjadi orang yang
mudah gumunan dan kagetan. Bila sudah paham
hayatilah dalam setiap perbuatan. Agar
ditemukan dirimu yang sejati sebelum raga yang
dibangga-banggakan itu menjadi mati.
8. DURMA Munduring tata krama. Dalam cerita
wayang purwa dikenal banyak tokoh dari
kalangan “hitam” yang jahat. Sebut saja
misalnya Dursasana, Durmagati,Duryudana.
Dalam terminologi Jawa dikenal berbagai istilah
menggunakan suku kata dur/ dura (nglengkara)
yang mewakili makna negatif (awon). Sebut saja
misalnya :duraatmoko, duroko, dursila, dura
sengkara, duracara (bicara buruk),durajaya,
dursahasya, durmala, durniti, durta, durtama,
udur, dst. Tembang Durma, diciptakan untuk
mengingatkan sekaligus menggambarkan
keadaan manusia yang cenderung berbuat buruk
atau jahat.
Manusia gemar udur atau cekcok, cari menang
dan benernya sendiri, tak mau memahami
perasaan orang lain. Sementara manusia
cendrung mengikuti hawa nafsu yang dirasakan
sendiri (nuruti rahsaning karep). Walaupun
merugikan orang lain tidak peduli lagi. Nasehat
bapa-ibu sudah tidak digubris dan dihiraukan
lagi. Lupa diri selalu merasa iri hati.
Manusia walaupun tidak mau disakiti, namun
gemar menyakiti hati. Suka berdalih niatnya
baik, namun tak peduli caranya yang kurang
baik. Begitulah keadaan manusia di planet bumi,
suka bertengkar, emosi, tak terkendali,
mencelakai, dan menyakiti. Maka hati-hatilah,
yang selalu eling dan waspadha.
9. PANGKUR Bila usia telah uzur, datanglah
penyesalan. Manusia menoleh kebelakang
(mungkur) merenungkan apa yang dilakukan
pada masa lalu. Manusia terlambat mengkoreksi
diri, kadang kaget atas apa yang pernah ia
lakukan, hingga kini yang ada tinggalah
menyesali diri. Kenapa dulu tidak begini tidak
begitu. Merasa diri menjadi manusia renta yang
hina dina sudah tak berguna. Anak cucu kadang
menggoda, masih meminta-minta sementara
sudah tak punya lagi sesuatu yang berharga.
Hidup merana yang dia punya tinggalah penyakit
tua. Siang malam selalu berdoa saja, sedangkan
raga tak mampu berbuat apa-apa. Hidup enggan
mati pun sungkan. Lantas bingung mau berbuat
apa. Ke sana-ke mari ingin mengaji, tak tahu
jati diri, memalukan seharusnya sudah menjadi
guru ngaji. Tabungan menghilang sementara
penyakit kian meradang.
Lebih banyak waktu untuk telentang di atas
ranjang. Jangankan teriak lantang, anunya pun
sudah tak bisa tegang, yang ada hanyalah
mengerang terasa nyawa hendak melayang.
Sanak kadhang enggan datang, karena ingat
ulahnya di masa lalu yang gemar mentang-
mentang. Rasain loh bentar lagi menjadi
bathang..!!
10. MEGATRUH Megat ruh, artinya putusnya
nyawa dari raga. Jika pegat tanpa aruh-aruh.
Datanya ajal akan tiba sekonyong-konyong.
Tanpa kompromi sehingga manusia banyak yang
disesali. Sudah terlambat untuk memperbaiki
diri. Terlanjur tak paham jati diri. Selama ini
menyembah tuhan penuh dengan pamrih dalam
hati, karena takut neraka dan berharap-harap
pahala surga. Kaget setengah mati saat mengerti
kehidupan yang sejati.
Betapa kebaikan di dunia menjadi penentu yang
sangat berarti. Untuk menggapai kemuliaan yang
sejati dalam kehidupan yang azali abadi. Duh
Gusti, jadi begini, kenapa diri ini sewaktu masih
muda hidup di dunia fana, sewaktu masih kuat
dan bertenaga, namun tidak melakukan kebaikan
kepada sesama. Menyesali diri ingat dulu kala
telah menjadi durjana. Sembahyangnya rajin
namun tak sadar sering mencelakai dan
menyakiti hati sesama manusia.
Kini telah tiba saatnya menebus segala dosa,
sedih sekali ingat tak berbekal pahala. Harapan
akan masuk surga, telah sirna tertutup bayangan
neraka menganga di depan mata. Di saat ini
manusia baru menjadi saksi mati, betapa
penyakit hati menjadi penentu dalam meraih
kemuliaan hidup yang sejati.
Manusia tak sadar diri sering merasa benci, iri
hati, dan dengki. Seolah menjadi yang paling
benar, apapun tindakanya ia merasa paling
pintar, namun segala keburukannya dianggapnya
demi membela diri. Kini dalam kehidupan yang
sejati, sungguh baru bisa dimengerti, penyakit
hati sangat merugikan diri sendiri. Duh Gusti…!
11. POCUNG Pocung atau pocong adalah orang
yang telah mati lalu dibungkus kain kafan. Itulah
batas antara kehidupan mercapadha yang panas
dan rusak dengan kehidupan yang sejati dan
abadi. Bagi orang yang baik kematian justru
menyenangkan sebagai kelahirannya kembali,
dan merasa kapok hidup di dunia yang penuh
derita.
Saat nyawa meregang, rasa bahagia bagai
lenyapkan dahaga mereguk embun pagi. Bahagia
sekali disambut dan dijemput para leluhurnya
sendiri. Berkumpul lagi di alam yang abadi azali.
Kehidupan baru setelah raganya mati. Tak terasa
bila diri telah mati. Yang dirasa semua orang
kok tak mengenalinya lagi. Rasa sakit hilang
badan menjadi ringan. Heran melihat raga sendiri
dibungkus dengan kain kafan. Sentuh sana
sentuh sini tak ada yang mengerti.
Di sana-di sini ketemu orang yang menangisi.
Ada apa kok jadi begini, merasa heran kenapa
sudah bahagia dan senang kok masih ditangisi.
Ketemunya para kadhang yang telah lama
nyawanya meregang. Dalam dimensi yang
tenang, hawanya sejuk tak terbayang. Kemana
mau pergi terasa dekat sekali. Tak ada lagi rasa
lelah otot menegang. Belum juga sadar bahwa
diri telah mati. Hingga beberapa hari barulah
sadar..oh jasad ini telah mati. Yang abadi
tinggalah roh yang suci.
Sementara yang durjana, meregang nyawa tiada
yang peduli. Betapa sulit dan sakit meregang
nyawanya sendiri, menjadi sekarat yang tak
kunjung mati. Bingung kemana harus pergi, toleh
kanan dan kiri semua bikin gelisah hati. Seram
mengancam dan mencekam. Rasa sakit kian
terasa meradang. Walau mengerang tak satupun
yang bisa menolongnya.
Siapapun yang hidup di dunia pasti mengalami
dosa. Tuhan Maha Tahu dan Bijaksana tak
pernah luput menimbang kebaikan dan
keburukan walau sejumput. Manusia baru sadar,
yang dituduh kapir belum tentu kapir bagi Tuhan,
yang dianggap sesat belum tentu sesat menurut
Tuhan.
Malah-malah yang suka menuduh menjadi
tertuduh. Yang suka menyalahkan justru
bersalah. Yang suka mencaci dan menghina
justru orang yang hina dina. Yang gemar
menghakimi orang akan tersiksa. Yang suka
mengadili akan diadili. Yang ada tinggalah
rintihan lirih tak berarti, “Duh Gusti pripun kok
kados niki…! Oleh sebab itu, hidup kudu jeli,
nastiti, dan ngati-ati.
Jangan suka menghakimi orang lain yang tak
sepaham dengan diri sendiri. Bisa jadi yang
salah malah pribadi kita sendiri. Lebih baik kita
selalu mawas diri, agar kelak jika mati arwahmu
tidak nyasar menjadimemedi.
12. WIRANGRONG Hidup di dunia ini penuh
dengan siksaan, derita, pahit dan getir, musibah
dan bencana. Namun manusia bertugas untuk
merubah semua itu menjadi anugrah dan
bahagia. Manusia harus melepaskan derita diri
pribadi, maupun derita orang lain. Manusia harus
saling asah asih dan asuh kepada sesama.
Hidup yang penuh cinta kasih sayang, bukan
berarti mencintai dunia secara membabi-buta,
namun artinya manusia harus peduli,
memelihara dan merawat, tidak membuat
kerusakan bagi sesama manusia lainnya, bagi
makhluk hidup dan maupun jagad raya seisinya.
Itulah nilai kebaikan yang bersifat universal.
Sebagai wujud nyata hamemayu hayuning
bawana, rahmatan lil alamin. Jangan lah
terlambat, akan mengadu pada siapa bila jasad
sudah masuk ke liang lahat (ngerong).
Wirangrong, Sak wirange mlebu ngerong, berikut
segala perbuatan memalukan selama hidup ikut
dikubur bersama jasad yang kaku.
Keburukannya akan diingat masyarakat, aibnya
dirasakan oleh anak, cucu, dan menantu. Jika
kesadaran terlambat manusia akan menyesal
namun tak bisa lagi bertobat. Tidak pandang
bulu, yang kaya atau melarat, pandai maupun
bodoh keparat, yang jelata maupun berpangkat,
tidak pandang derajat seluruh umat. Semua itu
sekedar pakaian di dunia, tidak bisa menolong
kemuliaan di akherat.
Hidup di dunia sangatlah singkat, namun
mengapa manusia banyak yang keparat. Ajalnya
mengalami sekarat. Gagal total merawat barang
titipan Yang Mahakuasa, yakni segenap jiwa dan
raganya. Jika manusia tak bermanfaat untuk
kebaikan kepada sesama umat, dan kepada
seluruh jagad, merekalah manusia bejat dan
laknat.Pakaian itu hanya akan mencelakai
manusia di dalam kehidupan yang sejati dan
abadi.
Orang kaya namun pelit dan suka menindas,
orang miskin namun kejam dan pemarah, orang
pandai namun suka berbohong dan licik, orang
bodoh namun suka mencelakai sesama, semua
itu akan menyusahkan diri sendiri dalam
kehidupan yang abadi. Datanglah penyesalan
kini, semua yang benar dan salah tak tertutup
nafsu duniawi.
Yang ada tinggalah kebenaran yang sejati. Mana
yang benar dan mana yang salah telah dilucuti,
tak ada lagi secuil tabirpun yang bisa menutupi.
Semua sudah menjadi rumus Ilahi. Di alam
penantian nanti, manusia tak berguna tetap
hidup di alam yang sejati dan hakiki, namun ia
akan merana, menderita, dan terlunta-lunta.
Menebus segala dosa dan kesalahan sewaktu
hidup di planet bumi. Lain halnya manusia yang
berguna untuk sesama di alam semesta,
hidupnya di alam keabadian meraih kemuliaan
yang sejati. Bahagia tak terperi, kemana-mana
pergi dengan mudah sekehendak hati. Ibarat
“lepas segala tujuannya” dan “luas kuburnya”.
Tiada penghalang lagi, seringkali menengok anak
cucu cicit yang masih hidup di dimensi bumi.
Senang gembira rasa hati, hidup sepanjang masa
di alam keabadian. Wirangrong juga diabadikan
menjadi sebuah gending.

0 komentar:

Posting Komentar