Tarek dan Daim
Syekh Siti Jenar mengajarkan dua macam bentuk shalat, yang disebut
shalat tarek dan shalat daim. Shalat tarek adalah shalat thariqah,
diatas sedikit dari syari’at. Shalat tarek diperuntukkan bagi orang
yang belum mampu untuk sampai pada tingkatan Manunggaling
Kawula Gusti, sedang shalat daim merupakan shalat yang tiada putus
sebagai efek dari kemanunggalannya. Sehingga shalat daim
merupakan hasil dari pengalaman batin atau pengalaman spiritual.
Ketika seseorang belum sanggup melakukan hal itu, karena masih
adanya hijab batin, maka yang harus dilakukan adalah shalat tarek.
Shalat tarek masih terbatas dengan adanya lima waktu shalat, sedang
shalat daim adalah shalat yang tiada putus sepanjang hayat, teraplikasi
dalam keseluruhan tindakan keseharian ( penambahan
, mungkin efeknya adalah berbentuk suci hati, suci ucap, suci pikiran );
pemaduan hati, nalar, dan tindakan ragawi.
Kata “tarek” berasal dari kata Arab “tarki” atau “tarakki” yang
memiliki arti pemisahan. Namun maksud lebih mendalam adalah
terpisahnya jiwa dari dunia, yang disusul dengan tanazzul (manjing)-
nya al-Illahiyah dalam jiwa. Shalat tarek yang dimaksud di sini adalah
shalat yang dilakukan untuk dapat melepaskan diri dari alam kematian
dunia, menuju kemanunggalan. Sehingga menurut Syekh Siti Jenar,
shalat yang hanya sekedar melaksanakan perintah syari’at adalah
tindakan kebohongan, dan merupakan kedurjanaan budi.
Pengambilan shalat tarek ini berasal dari Kitab Wedha Mantra bab
221; Shalat Tarek Limang Wektu. (Sang Indrajit: 1979, hlm. 63-66).
Keterangan bagi yang mengamalkan ilmu shalat tarek lima waktu ini.
(Semua hal yang berkaitan dengan shalat tarek ini diterjemahkan
dengan apa adanya dari Kitab Wedha Mantra. Makna terjemahan yang
bertanda kutip hanyalah arti untuk memudahkan pemahaman.
Adapun maksud dan substansi yang ada dalam kalimat-kalimat asli
dalam bahasa Jawa-Kawi, lebih mendalam dan luas dari pemahaman
dan terjemahan diatas.(penulisnya wanti-wanti banget….))
Pelaksanaan shalat tarek bisa saja diamalkan bersamaan dengan
shalat syari’at sebagaimana biasa, bisa juga dilaksanakan secara
terpisah. Hanya saja terdapat perbedaan dalam hal wudlunya. Jika
dalam shalat syari’at, anggota wudhu yang harus dibasuh adalah
wajah, tangan, sebagian kepala, dan kaki, sementara dalam shalat
tarek adalah di samping tempat-tempat tersebut, harus juga
membasuh seluruh rambut, tempat-tempat pelipatan anggota tubuh,
pusar, dada, jari manis, telinga, jidat, ubun-ubun, serta pusar
tumbuhnya rambut (Jawa; unyeng-unyengan). Walhasil wudlu untuk
shalat tarek sama halnya dengan mandi besar (junub/jinabat).
Bahwa kematian orang yang menerapkan ilmu ini masih terhenti pada
keduniaan, akan tetapi sudah mendapatkan balasan surga sendiri.
Maka paling tidak ujaran-ujaran shalat tarek ini hendaknya
dihafalkan, jangan sampai tidak, agar memperoleh kesempurnaan
kematian.
Bagi yang akan membuktikan, siapa saja yang sudah melaksanakan
ilmu ini, dapat saja dibuktikan. Ketika kematian jasadnya didudukkan
di daratan (di atas tanah), di kain kafan serta diberi kain lurub
(penutup) serta selalu ditunggu, kalau sudah mendapatkan dan sampai
tujuh hari, bisa dibuka, niscaya tidak akan membusuk, (bahkan kalau
iradah dan qudrahnya sudah menyatu dengan Gusti), jasad dalam
kafan tersebut sudah sirna. Kalau dikubur dengan posisi didudukkan,
maka setelah mendapat tujuh hari bisa digali kuburnya, niscaya
jasadnya sudah sirna, dan yang dikatakan bahwa sudah menjadi
manusia sempurna. Maka karena itu, orang yang menerapkan ilmu ini,
sudah menjadi manusia sejati.
Sedangkan tentang ilmu ini, bukanlah manusia yang mengajarkan, cara
mendapatkannya adalah hasil dari laku-prihatin, berada di dalam
khalwat (meditasi, mengheningkan cipta, menyatu karsa dengan Tuhan
sebagaimana diajarkan Syekh Siti Jenar).
Tentang anjuran untuk pembuktian di atas, sebenarnya tidak
diperlukan, sebab yang terpenting adalah penerapan pada diri kita
masing-masing. Justru pembuktian paling efektif adalah jika kita
sudah mengaplikasikan ilmu tersebut. Apalagi pembuktian seperti itu
jika dilaksanakan akan memancing kehebohan, sebagaimana terjadi
dalam kasus kematian Syekh Siti Jenar serta para muridnya.
31. Shalat Subuh
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Kudus kang shalat, iya
iku rohing Allah. Allah iku lungguh ana ing paningal, shalat iku sajrone
shalat ana gusti, sajroning gusti ana sukma, sajroning sukma ana
nyawa, sajroning nyawa ana urip, sajro-ning urip ana eling, pardhu
ta’ala Allahu akbar, tetep mantep weruh ing awakku.”
(Aku berniat shalat, roh Kudus yang melaksanakan shalat, yaitulah
rohnya Allah. Allah yang menempati penglihatan, shalat yang di dalam
shalat itu ada gusti, di dalam gusti ada sukma, di dalam sukma ada
nyawa, di dalam nyawa terdapat kehidupan, di dalam kehidupan
terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu
akbar tetap mantap mengerti akan diriku sendiri).
Malaikatnya adalah Haruman (malaikat Rumman), memujinya dengan
“Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, sirku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu
akbar, tetep madhep langgeng weruh ing sirku.”
(Aku berniat shalat, sir [rahasia]-ku yang shalat, wajib dari Allah
ta’ala, Allahu akbar, tetap menghadap dengan abadi mengerti akan sir
[rahasia]-ku).
Malaikatnya Haruman, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “ya Rajamu, ya Rajaku.” (Arab; Ya maliku al-
Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat
berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku),
Seratus kali
32.Shalat Luhur
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh idlafi kang shalat, iya
iku rohing Pangeran. Pangeran iku lungguhe ana ing kaketek, shalat iku
sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana
urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing Pangeranku.”
(Aku berniat shalat, roh Idlafi yang melaksanakan shalat, yaitulah
rohnya Tuhan. Tuhan yang menempati ketiak, shalat yang di dalam
sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam sukma
terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di dalam
kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari Allah
ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Tuhanku).
Malaikatnya adalah Jabarail (malaikat Jibril), memujinya dengan, “Ya
Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, kang shalat osikku, pardlu ta’ala Allahu
akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing osikku.”
(Aku berniat shalat, yang shalat bisikan dan gerak hatiku, wajib dari
Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi
mengerti akan bisikan nuraniku).
Malaikatnya Jabarail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-
Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat
berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”,
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata pada Allahku),
Seratus kali.
33.Shalat ‘Ashar
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Abadi kang shalat, iya
iku rohing Rasul. Rasul iku lungguhe ana ing poking ilat, shalat iku
sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana
urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing Rasulku.”
(Aku berniat shalat, roh keabadian yang melaksanakan shalat, yaitulah
rohnya Utusan. Utusan Tuhan yang menempati ujung lidah, shalat yang
di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam
sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di
dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari
Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan Utusanku).
Malaikatnya adalah Mikail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.”
Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, angen-angenku kang shalat, pardlu ta’ala
Allahu akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing angen-
angenku.”
(Aku berniat shalat, angan-anganku yang shalat, wajib dari Allah
ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti
akan angan-anganku).
Malaikatnya Mikail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-
Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat
berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata
pada Allahku), Seratus kali.
34.Shalat Maghrib
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, rokhani kang shalat, iya iku
rohing Muhammad. Muhammad iku lungguhe ana ing talingan, shalat
iku sajroning sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana
urip, sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep
mantep weruh ing Muhammadku.”
(Aku berniat shalat, rohani yang melaksanakan shalat, yaitulah rohnya
Muhammad. Muhammad yang menempati ujung telinga, shalat yang di
dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat sukma, di dalam
sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya kehidupan, di
dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh, kewajiban dari
Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan
Muhammadku).
Malaikatnya adalah Israfil, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.”
Seratus kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, tekadku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu
akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing tekadku.”
(Aku berniat shalat, tekadku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan
tekadku).
Malaikatnya Israfil, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-
Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat
berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata
pada Allahku), Seratus kali
35.Shalat ‘Isya’
Niat yang paling awal, “Niyatingsun shalat, roh Robbi kang shalat, iya
iku rohing urip. urip iku lungguhe ana ing napas, shalat iku sajroning
sukma, sajroning sukma ana nyawa, sajroning nyawa ana urip,
sajroning urip ana eling, pardhu ta’ala Allahu akbar, tetep mantep
weruh ing uripku.”
(Aku berniat shalat, roh Pembimbing yang melaksanakan shalat,
yaitulah rohnya kehidupan. Utusan Tuhan yang menempati napas,
shalat yang di dalam sahalat itu ada gusti, didalam gusti terdapat
sukma, di dalam sukma terkandung nyawa, di dalam nyawa adanya
kehidupan, di dalam kehidupan terdapat kesadaran menyeluruh,
kewajiban dari Allah ta’ala, Allahu akbar, tetap mantap mengerti akan
kehidupanku).
Malaikatnya adalah Izrail, memujinya dengan, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus
kali.
Niatnya, “Niyatingsun shalat, karepku kang shalat, pardlu ta’ala Allahu
akbar, tetep mantep madhep langgeng weruh ing karepku.”
(Aku berniat shalat, keinginanku yang shalat, wajib dari Allah ta’ala,
Allahu akbar, tetap mantap menghadap dengan abadi mengerti akan
keinginanku).
Malaikatnya Izrail, pepujiannya, “Ya Hu, Ya Hu.” Seratus kali.
Kemudian memuji; “Ya Rajamu, ya rajaku.” (Arab; Ya Maliku al-
Mulku). Seratus kali.
Dilanjutkan, “Sirrullah, darajatullah, sifatullah”. Seratus kali.
Dilanjutkan lagi, “Lah giri-giri Allah, sir jeneng, sir jumeneng Allah, nur
gumulung, gumulung agawe jagat,”
(Sungguh puncak dari segala puncak adalah Allah, rahasia tempat
berdiam Allah, cahaya tergulung, tergulung membuat semesta).
Seratus kali.
Kemudian berdzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes kena ing
Allahku.”
(Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh pasti sudah kena pada
Allahku).Seratus kali.
Dilanjutkan dengan dzikir, “Lah wes kena Pangeranku, lah wes nyata
ing Allahku”, (Sungguh sudah kena Tuhanku, sungguh sudah nyata
pada Allahku), Seratus kali.
36.“Inilah shalat satu raka’at salam, yang dilaksanakan setiap tanggal
(bulan purnama), dengan waktu tengah malam tepat.
a.Inilah niatnya, “Ushalli urip dzatullah Allahu akbar” (Aku berniat
melaksanakan shalat kehidupan dzatullah, Allahu akbar).
b.Membaca surat al-Fatihah, kemudian membaca ayat dengan
menyebut, “aku pan Sukma” (Aku sang pemilik Sukma)
c.Melakukan ruku’ dengan menyebut, “langgeng urip
dzatullah” (Kehidupan abadi dzatullah).
d.Sujud dengan mengucapkan, “ibu bumi dzatullah”.
e.Duduk di antara dua sujud dengan doa, “langgeng urip dzatullah tan
kena pati” (kehidupan abadi dzatullah yang tidak terkena kematian).
f.Sujud lagi dengan bacaan, “Ibu bumi dzatullah”.
g.Tahiyat dengan membaca, “Urip dzatullah”.
h.Membaca syahadat dengan bacaan, “Ashadu uripingsun lan
sukma” (Ashadu kehidupanku dan Sukma).
i.Salam dengan bacaan, “Ingsun kang agung, ingsun kang memelihara
kehidupan yang tidak terkena kema-tian.
j.Membaca doa, “Allahumma papan tulis hadhdhari langgeng urip tan
kena pati” (Allahumma papan tulis segala sesuatu yang abadi hidup
yang tak pernah terkena mati).
k.Kemudian berdoa dalam hati, “Ingsun kang agung ingsun kang wisesa
suci dhiriningsun” (ingsun yang Agung, ingsun yang memelihara, suci
diriku sendiri [ingsun]).
Dalam Islam dikenal shalat satu raka’at, namun itu hanya sebagian
dari shalat witir (shalat penutup akhir malam dengan raka’at yang
ganjil).
Shalat satu raka’at salam dalam ajaran Syekh Siti Jenar bukanlah
shalat witir, namun shalat ngatunggal, atau shalat yang dilaksanakan
dalam rangka mencapai kemanunggalan diri dengan Gusti.
Bacaan-bacaan shalat ngatunggal tidak semuanya memakai bahasa
Arab, hanya lafazh takbir dan al-Fatihah serta ayat-ayat yang dibaca
satu madzhab fiqih Islam sekalipun (yakni madzhab Imam Hanafi, dan
di Indonesia terutama madzhab Hasbullah Bakri), bacaan dalam shalat
selain takbir dan al-Fatihah boleh diucapkan dengan bahasa ‘ajam
(selain bahasa Arab).
37.“Shalat lima kali sehari, puji dan dzikir itu adalah kebijaksanaan
dalam hati menurut kehendak pribadi. Benar atau salah pribadi
sendiri yang akan menerima, dengan segala keberanian yang
dimiliki.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 33).
Syekh Siti Jenar menuturkan bahwa sebenarnya shalat sehari-hari itu
hanyalah bentuk tata krama dan bukan merupakan shalat yang
sesungguhnya, yakni shalat sebagai wahana memasrahkan diri secara
total kepada Allah dalam kemanunggalan. Oleh karenanya dalam
tingkatan aplikatif, pelaksanaannya hanya merupakan kehendak
masing-masing pribadi.
Demikian pula, masalah salah dan benarnya pelaksanaan shalat yang
lima waktu dan ibadah sejenisnya, bukanlah esensi dari agama.
Sehingga merupakan hal yang tidak begitu penting untuk menjadi
perhatian manusia. Namanya juga sebatas krama, yang tentu saja
masing-masing orang memiliki sudut pandang sendiri-sendiri.
38.“Pada waktu saya shalat, budi saya mencuri, pada waktu saya
dzikir, budi saya melepaskan hati, menaruh hati kepada seseorang,
kadang-kadang menginginkan keduniaan yang banyak. Lain dengan
Zat Allah yang bersama diriku. Nah, saya inilah Yang Maha Suci, Zat
Maulana yang nyata, yang tidak dapat dipikirkan dan tidak dapat
dibayangkan.” (Serat Syaikh Siti Jenar Ki Sasrawijaya, Pupuh III
Dandanggula, 37).
Pada kritik yang dikemukakan Syekh Siti Jenar terhadap Islam formal
Walisanga tersebut, namun jelas penolakan Syekh Siti Jenar atas model
dan materi dakwah Walisanga. Pernyataan tersebut sebenarnya
berhubungan erat dengan pernyataan-pernyataan pada point 37
diatas, dan juga pernyataan mengenai kebohongan syari’at yang tanpa
spiritualitas di bawah.
Menurut Syekh Siti Jenar, umumnya orang yang melaksanakan shalat,
sebenarnya akal-budinya mencuri, yakni mencuri esensi shalat yaitu
keheningan dan kejernihan busi, yang melahirkan akhlaq al-karimah.
Sifat khusyu’nya shalat sebenarnya adalah letak aplikasi pesan shalat
dalam kehidupan keseharian.
Sehingga dalam al-Qur’an, orang yang melaksanakan shalat namun
tetap memiliki sifat riya’ dan enggan mewujudkan pesan kemanusiaan
disebut mengalami celaka dan mendapatkan siksa neraka Wail. Sebab
ia melupakan makna dan tujuan shalat (QS. Al-Ma’un/107;4-7). Sedang
dalam Qs.Al-Mukminun/23; 1-11 disebutkan bahwa orang yang
mendapatkan keuntungan adalah orang yang shalatnya khusyu’. Dan
shalat yang khusyu’ itu adalah shalat yang disertai oleh akhlak berikut :
(1) menghindarkan diri dari hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna,
juga tidak menyia-siakan waktu serta tempat dan setiap kesempatan;
(2) menunaikan zakat dan sejenisnya; (3) menjaga kehormatan diri
dari tindakan nista; (4) menepati janji dan amanat serta sumpah; (5)
menjaga makna dan esensi shalat dalam kehidupannya. Mereka itulah
yang disebutkan akan mewarisi tempat tinggal abadi; kemanunggalan.
Namun dalam aplikasi keseharian, apa yang terjadi? Orang muslim
yang melaksanakan shalat dipaksa untuk berdiam, konsentrasi ketika
melaksanakan shalat. Padahal pesan esensialnya adalah, agar pikiran
yang liar diperlihara dan digembalakan agar tidak liar. Sebab pikiran
yang liar pasti menggagalkan pesan khusyu’ tersebut. Khusyu’ itu
adalah buah dari shalat. Sedangkan shalat hakikatnya adalah
eksperimen manunggal dengan Gusti. Manunggal itu adalah al-Islam,
penyerahan diri
. Sehingga doktrin manunggal bukanlah masalah paham qadariyah
atau jabariyah, fana’ atau ittihad.
Namun itu adalah inti kehidupan. Khusyu’ bukanlah latihan
konsentrasi, bukan pula meditasi. Konsentrasi dan meditasi hanya
salah satu alat latihan menggembalaan pikiran. Wajar jika Syekh Siti
Jenar menyebut ajaran para wali sebagai ajaran yang telah dipalsukan
dan menyebut shalat yang diajarkan para Wali adalah model shalatnya
para pencuri.
Rabu, 13 Maret 2013
Tarek dan Daim
Published :
17.29
Author :
wong ndeso
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
hakikat alif Alif terbentuk dari Ulfah (kedekatan) dan ta’lif ( pembentukan). Dengan huruf inilah ALLAH menta’lif (menyatukan) seluruh c...
-
Suci kodrat sejati Nyawiji suci jumeneng sejati Roso suci sejati alenggahan roh suci Kuncup sejati mulyo sejati Roso kumala handarbeni ...
-
~ Tentang Penciptaan ~ Ilmu Hakekat Insan Hadist di riwayatkan oleh Imam Ali Bin Abi Thalib : “QABLA’AN YAHLUKAS SAMAWATI WAL ARDHI, WAL A...
-
~ Nabi Isa ~ Ilmu Hakekat Insan Singkat ceritra, Karena Nabi Isa telah dikandung oleh seorang dara perawan bernama Maryam melalui kekuasaan...
-
~ Perjalanan Sholat Daim ~ Ilmu Hakekat Insan . Cara ‘MENGHILANGKAN’ kemudian ‘MENYATAKAN’ adalah dengan mengetahui tentang PERJALANAN SHOL...
Rahayu
BalasHapusRahayu
BalasHapusMatur Nuwun Pak...
BalasHapusatas pembabarannya...