Sabtu, 07 Juli 2012

Cermin diri ajaran wali

“Mengenai langkah yang harus dijalani, janganlah kamu berlebihan, hiduplah
dengan bersahaja, jangan sombong dalam berbicara, dan jangan berlebihan
terhadap sesama manusia. Itulah langkah sempurna yang sejati.
Bertapa di gunung atau di gua itu akan menjadikanmu takabur, lakukanlah tapa
di tengah ramainya manusia. Milikilah sikap luhur dan maafkanlah orang yang
salah. Hanya itulah langkah yang sejati.”
(Sajarah Wali, Syekh Syarif Hidayatullah Sunan Gunang jati, Naskah Mertasinga,
Wahjoe: Pustaka, 2005)
PARAGRAF diatas saya kutipkan dari sebuah naskah kuno Mertasinga yang
merupakan pesan yang disampaikan oleh Syekh Ataullah, salah satu guru dari
Sunan Gunung Jati. Naskah ini diterjemahkan oleh Bapak Amman N. Wahjoe,
yang memiliki dokumen ini secara turun menurun dalam keluarganya. Wahjoe
membuat babad yang berbahasa Jawa-sundan ini dalam bahasa Indonesia dan
menjadi satu bacaan berbahasa Indonesia yang banyak mengungkap sejarah
tentang para wali di pulau Jawa.
Sebenarnya ajaran-ajaran macam ini bertebaran di Indonesia. Bentuknya dapat
berupa babad, kawuh, kinanti dan sebagainya. Satu bentuk dokumen yang
biasanya hanya dipunyai oleh keturunan yang sifatnya ekslusif dan tidak
terdokumentasi dengan baik.
Banyak keluarga di Indonesia ini menyimpan catatan-catatan ataupun tinggalan
dari kakek, nenek atau buyutnya. Namun karena ketidakmengertian catatan ini
diperlakukan sebagai jimat yang dikeramatkan tanpa dikuak isinya.
Bagi saya pribadi amat menarik untuk mengetahui secara mendalam ajaran-
ajaran para wali di pulau Jawa ini. Sejak dulu informasi yang saya terima tentang
para wali, hanyalah hal-hal yang berisifat sinkretik yang penuh dengan cerita-
cerita kegaiban.
Namun semakin saya mencari, yang saya temukan adalah kesederhanaan ajaran
mereka yang cukup menyentuh sisi keberagamaan saya. Kalau ditilik dari ajaran-
ajarannya para sunan ini tidak hanya sekedar pendakwah, namun mereka
mempunyai khazanah sufistik yang cukup mendalam.
Salah satu tanda dari khazanah sufistik yang dimiliki para wali tersebut adalah
wisdom (kebijaksanaan). Salah satu contohnya dapat kita rasakan pada ajaran
Sunan Kudus yang sampai saat ini masih diyakini oleh sebagian masyarakat di
kota itu, yaitu tidak menyembelih sapi. Saat itu Sunan Kudus memerintahkan
penghormatan terhadap sapi untuk mentoleransi kepercayaan masyarakat Hindu
yang hidup di kota itu.
Menurut kisah yang tersebar dalam masyarakat, Sunan ini memulai dakwahnya
dengan cara yang sangat unik untuk memancing masyarakat pergi ke masjid
mendengarkan dakwahnya. Ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama
Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan
sapi, tumbuh simpatinya. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan
Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti ’sapi betina’.
Selain itu kita dapat juga mempelajari ajaran dari Sunan Bonang yang gemar
mecipatakan lagu-lagu rakyat sebagai lahan dakwahnya. Salah satu tembangnya
yang cukup populer sampai saat ini, terutama saat dinyantikan kembali oleh
Opick, ‘Tombo Ati’ merupakan hasil karya sunan. Boleh saya kutipkan disini
terjemahan dari syair yang aslinya berbahasa Jawa tersebut:
Obat hati ada lima perkara.
Yang pertama, baca Qur’an dan maknanya
Yang kedua, shalat malam dirikanlah
Yang ketiga, berkumpulah dengan orang saleh
Yang keempat, perbanyaklah berpuasa
Yang kelima, dzikir malam perpanjanglah.
Siapa yang bisa melakukan salah satunya
Semoga Tuhan memberikan penyembuhnya.
Salah satu sunan yang cukup unik pendekatannya dan cukup akrab dengan
budaya lokal adalah Sunan Kalijaga. Wali yang satu ini menggunakan pendekatan
budaya untuk mendekati masyarakat Hindu Budha pada jamannya. Salah satu
peninggalan beliau yang cukup dikenal oleh masyarakat Jawa adalah kisah
pewayangan Dewa Ruci (Dewa Ruh Suci, Ruh Al-Quds—ed.). Kisah tentang Bima
yang bertemu dengan Dewa Ruci yang berwujud sama dengan dirinya
menyimbolkan pertemuan manusia dengan jiwanya sendiri*. Kisah Dewa Ruci
merupakan satu simbol khazanah kesufian yang melihat bahwa tiap-tiap manusia
harus bertemu dengan jiwanya sendiri untuk mengetahui laku sejati dalam
hidupnya. Sayangnya saat ini banyak orang Jawa menggunakan pementasan
wayang Dewa Ruci ini untuk ritual “ruwatan” tanpa mengetahui pesan
sesungguhnya dari kisah tersebut.
Yang cukup ajaib buat saya juga adalah fakta sejarah bahwa para wali itu
sebagian besar adalah orang-orang asing. Menurut buku yang ditulis oleh
Sudirman Tebba, “Mengenal Wajah Islam yang ramah” (Pustaka Irvan, 2007) dan
juga Sajarah Wali dalam Naskah Mertasinga, para wali kebanyakan berasal dari
tanah Arab dan Campa.
Syekh Syarif Hidayatullah sendiri serta Sunan Kudus mempunyai darah Arab.
Wali-wali yang lain seperti Sunan Ampel, Sunan Giri dan Sunan Bonang yang
mempunyai hubungan kekeluargaan satu sama lain, merupakan keturunan dari
Campa, perdebatan sering merujuk Campa sebagai salah satu daerah di
Kamboja.
Kenyataan bahwa orang-orang asing khusus datang dan berkumpul ke pulau
Jawa untuk menyebarkan dakwah Islam, adalah hal yang cukup menarik untuk
diselami. Mengapa mereka datang ke pulau Jawa? Dan lebih hebatnya lagi
mengapa mereka yang berdarah asing itu dapat membumikan nilai-nilai Islam
sesuai dengan nilai lokal atau lebih tepatnya ‘berdakwah dengan “bahasa”
kaumnya’? Ini adalah misteri yang membutuhkan studi yang panjang, namun
dengan khazanah sufistiknya yang unik, para wali mengajarkan nenek moyang
saya untuk menyembah Tuhan dengan keberserahdirian yang sederhana.
Sayangnya esensi dari ajaran para wali ini terlupakan saat ini. Banyak orang di
Indonesia mencoba mencari refleksi keagamaannya ke luar dan bukan pada
dirinya sendiri. Gerakan pan Islamisme tahun 80-an agaknya banyak membuat
perubahan dalam berislamnya orang Indonesia. Faham-faham yang serba keras,
hanya berwajah syariah tanpa percikan kebijakan membuat Islam difahami
dengan perspektif yang amat berbeda pada generasi–generasi muda Islam
Indonesia yang ada saat ini.
Gerakan–gerakan Islam yang banyak merupakan turunan dari organisasi Islam
dari Mesir atau Saudi Arabia, membuat banyak orang terasing dari sejarah
keberagamaannya sendiri. Aliran garis keras ini pun direaksi dengan gerakan
keIslaman yang liberal yang mencoba memasukkan Islam mempunyai logika
berfikirnya sendiri yang transenden, dalam kerangka ilmiah barat yang sifatnya
materialistik.
Saya tidak menemukan wajah Islam yang diyakini oleh nurani saya pada dua sisi
ekstrim tersebut. Namun saya menemukan ketersambungan akar keyakinan saya
tentang bagaimana seharusnya beragama Islam dalam ajaran para wali.
Sekarang, disaat Islam didentikan dengan terorisme dan kekerasan, Indonesia
sering ditoleh oleh barat sebagai anti thesa bahwa Islam adalah wujud dari
kedamaian dan toleransi. Menurut saya sudah saatnya untuk menggali dan
mencoba menemukan inti dari warisan ajaran-ajaran para wali, sehingga kita
bisa menemukan keunikan sejarah keberagamaan kita sendiri dan menyebarkan
pada dunia, wajah Islam yang sebenarnya sebagai Rahmat sekalian alam. []
___
* Mengenal diri, “Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, Siapa yang
mengenal jiwanya akan mengenal Rabb-nya. (Al-Hadits).

0 komentar:

Posting Komentar